Halaman Depan

Sunday, January 26, 2014

Belum Cukup Dewasa


21 tahun, setidaknya sudah setua itu saya saat tulisan ini dimulai (pembulatan ke bawah). Sudah lumayan tua juga ternyata. Seperti kata orang kebanyakan, tua itu sudah suatu kepastian (kalo gak mati muda sih), sedangkan dewasa itu pilihan. Ya, pilihan. Pilihan untuk berpindah dari kehidupan anak-anak yang menyenangkan dan santai menuju kehidupan orang dewasa yang lebih serius, melelahkan, dan penuh tanggung jawab. 

Masih terngiang perkataan teman, "Usia kepala 1, berarti setidaknya siap untuk ngurus 1 kepala (diri sendiri). Kepala 2 berarti dah siap untuk ngurus 2 kepala (nikah dan membina rumah tangga)." Sebuah pernyataan agak ngaco yang cukup memancing rasa galau nikah bagi anak kuliahan macam saya. Namun, saya sering lupa kalo menikah, kita harus siap. Siap dari segala aspek mulai dari jasmani, finansial, mental, serta perilaku dan pemikiran. Kadang saya berpikir mungkin kira-kira 4 tahun lagi, pulang kerja disambut istri yang cantik sholihah, dan anak yang lagi lucu-lucunya, ah alangkah indahnya dunia. Tapi seringnya sih gak bisa bayangin. Saya yang masih seperti ini, suatu saat harus jadi kepala rumah tangga. Berarti, menjadi dewasa itu bukan pilihan, tetapi sebuah keharusan. Sesuatu yang harus diusahakan.

Tapi kalo dipikir-pikir, menjadi dewasa itu susah. Entah darimana saya harus baca tutorialnya. Dari yang saya amati, menjadi dewasa terdiri dari berbagai hal: berkepala dingin dan tenang dalam mengambil keputusan, berpikir logis dan rasional, tidak mudah terpengaruh, bijak dalam memimpin dan menyelesaikan masalah, cara bicara dan berkomunikasi yang tertata, dan entah lainnya. Rumit. Bukankah banyak mereka yang bilang bahagia itu sederhana, ya kan? 

Padahal sudah 21 tahun, tapi saya masih saja, gimana ya kalimatnya yang enak.. terlalu menikmati jadi anak-anak mungkin. Ya di satu sisi, fisik, saya juga tidak setinggi laki-laki seusia saya pada umumnya. Kalo mental mungkin juga belum sedewasa umur yang seharusnya. Dalam mengambil keputusan, masih bingungan dan cenderung minta pendapat orang lain. Terlalu sering panik kalo ketemu permasalahan rumit. Jangankan yang rumit, yang simpel saja masih sering panik. Mungkin karena saya juga jarang ketemu masalah yang benar-benar besar sih.

Friday, January 3, 2014

Di Balik Sebuah Nama, Ihsan Ash Shiddiqi


Nama memiliki arti penting bagi pemiliknya. Nama merupakan identitas pertama bagi manusia untuk saling mengenal dan berkomunikasi. Pada umumnya, nama merupakan sebuah do’a dan harapan dari orangtua untuk buah hati mereka. Terkadang juga, nama diberikan berdasarkan suatu momen tertentu, misal lahir di bulan puasa maka diberi nama Romadhon. Ada pula yang memberikan nama untuk anak mereka dengan menggabungkan nama mereka sendiri. Berbagai variasi lain dalam pemberian nama, sesuai dengan keberagaman tingkat kreativitas serta pengetahuan manusia.

 Lantas bagaimana dengan nama saya? Ihsan Ash Shiddiqi. Nama yang sangat bagus, meskipun terlalu umum digunakan dengan berbagai variasi hurufnya. Jika tidak percaya, silakan cek di situs-situs jejaring sosial. Nama pasaran. Entah harus senang ato sedih.


Tuh kan 

Wednesday, December 25, 2013

Melalui Tulisan

Entah sudah yang ke berapa kali, lagi-lagi saya buat blog baru. Mungkin menulis memang bukan dunia saya sehingga sejak dulu saya selalu tidak betah dan selalu setengah-setengah jika sudah berurusan dengan blog. Namun, tidak dapat dipungkiri saya sering iri kalo liat blog orang yang terawat dengan sangat baik dan teratur, tulisan-tulisan orang yang bisa menggugah, menghibur, memotivasi, memberi manfaat. Apa saya tidak bisa seperti mereka?
Seseorang pernah bilang ke saya yang kurang lebih seperti ini, cara bicara seorang penulis itu berbeda dengan orang yang jarang menulis, karena penulis terbiasa menyusun kalimat secara terstruktur sehingga kalimat yang dia sampaikan lebih mudah untuk diterima dan dicerna. Seringkali saya teringat betapa sulitnya saya menyusun kalimat untuk menjawab soal-soal uraian di ujian. Barangkali ini dampak karena saya yang terlalu jarang menulis.
...
Dengan menulis, kita dipaksa untuk senantiasa  mencari bahan yang tidak jarang membawa kita ke sesuatu yang baru yang tidak kita ketahui sebelumnya. Dipaksa untuk merangkai kata dan menyampaikan apa yang kita maksud. Melalui tulisan, kita berbagi wawasan, perasaan, serta pengalaman. Walaupun mungkin tidak banyak, ada transfer ilmu/perasaan antara penulis dengan pembaca. Rumit, ruwet. Dunia tulis menulis memang terlalu dalam untuk saya selami. Ada yang bilang tulisan saya aneh, ada yang bilang terlalu formal. Statement yang semakin memperjelas bahwa menulis memang bukan dunia saya, tapi akan saya coba masuki paksa dunia tersebut.