Halaman Depan

Saturday, March 8, 2014

Perjalanan Naik Ketiga (Sindoro Part 2)


Lanjutan dari part 1 (baca)

Menuju pos pertama, kami sempat dipandu sama bapak-bapak penduduk setempat karena jalur awal memang masih berbaur dengan pemukiman penduduk sehingga cukup membingungkan. Setelah memandu kami ke rute utama, si Pakde (kami lebih nyaman menyebutnya demikian) tadi bilang yang kurang lebih demikian, “ Nah dari sini, mas tinggal ngikuti jalan saja. Paling 3 jam an sampai ke puncak.” Mukegile!! Itu si Pakde pakai ilmu apaan? Mas-mas di basecamp aja bilang perjalanan dari basecamp ke pos 3, pos yang biasa dipakai buat ngecamp bisa mencapai 7 jam. Yah mungkin agak dilebih-lebihin dikit biar ojek nya laku atau kami yang salah dengar, tapi jelas kalo bisa sampai puncak dalam waktu 3-4 jam itu ajaib.

Jalan menuju pos pertama masih berupa jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Masih cukup lebar untuk dilewati mobil sepertinya. Setelah kami mengalami sendiri perjalanan menuju pos pertama, cukup terasa kalo pake ojek lumayan banget buat berhemat waktu dan tenaga. Tapi mustahil kami kembali ke basecamp hanya untuk ngojek. Sangat tidak efektif. Sesampainya di pos pertama, ada mas-mas lagi ngopi-ngopi. Keliatan enak.




Seperti tertulis, pos 1 ojek. Salah satu spot tukang ojek mangkal 

Perjalanan menuju pos 2, para rombongan dah ngantuk. Banget. Dari pos pertama, ojek mungkin hanya bisa sampai ke ½ perjalanan menuju pos 2. Atau mungkin malah gak sampai ½. Rombongan makin sering berhenti. Mas Luqman malah sempet tertidur. Nah Saat berhenti lama sampai ada yang tertidur tersebut, Mas Yusuf yang berpengalaman naik Sindoro 1x, memetiki daun pegagan yang tumbuh di sekitar situ. Saya lebih sering nyebutnya pegatan meskipun entar artinya jadi lain. Katanya sih kalo direbus dan airnya diminum, dapat melancarkan peredaran darah ke otak. Lumayan lah buat campuran nyeduh-nyeduh entar.

Saya tidak tahu memetiki pegagan liar tadi termasuk melanggar aturan pecinta alam yang ‘dilarang mengambil apapun kecuali gambar’ atau tidak. Akan tetapi, pecinta alam dadakan dan abal-abal seperti saya memang sering tak memikirkan hal tersebut. Payah. Dengan kondisi tubuh yang makin lelah dan mata yang makin ngantuk, sesampainya di pos 2 kami pun nyeduh kopi.

Dalam perjalanan menuju puncak Gunung Sindoro kali ini, rombongan kami bawa kompor gas kecil.  Tidak seperti 2 perjalanan naik sebelumnya yang hanya bawa  paraffin dan spirtus. Dengan kompor gas, mendidihkan airnya jadi lebih cepet. Ngopi di ketinggian, kondisi dingin, dan ngantuk waktu itu memang nikmat banget. Sayangnya sehabis ngopi, bingung juga panci bekas nyeduhnya dibersihinnya gimana? Jadilah dibawa dalam kondisi kotor. Kalo di alam terbuka seperti ini, cara kotor kayak gini bagi kami agak wajar. Entah untuk pendaki lain.



Ada yang sempet bobok


 

Racik-racik kopi di pos 2, tombo ngantuk 

Dengan semangat yang sudah terbarukan, kami lanjut menuju pos 3. Pos tempat biasanya para pendaki bobok. Kalo tidak segera, kami bakal kehabisan tempat untuk ndiriin tenda. Seingat saya, medan menuju pos 3 dah lebih curam dibanding menuju pos 2 dan jalannya lebih sempit. Cukup melelahkan juga sampai-sampai ada yang usul nyeduh lagi, dan tentu saja usul ditolak. Paling sering sih berhenti terus foto-foto. Akhirnya setelah pukul 23.30 an (lagi-lagi gak yakin karena liat jam di foto) kami sampai di pos 3. Setidaknya tidak se lama yang dikatakan mas-mas di basecamp ato di kertas panduan, dan tentunya sangat berbeda dengan yang dikatakan si pakde tadi. Seperti yang diperkirakan, sudah banyak tenda yang berdiri di sana. Kami harus mencari lahan untuk mendirikan tenda. Sulit. Lahan yang tersisa ada yang miring, kurang luas sedikit, tidak rata, dan ada pula yang mepet pohon. Setelah mencari kira-kira ½ jam, kami putuskan memilih lahan yang mepet pohon. Setelah tenda didirikan dengan susah payah, matras dihamparkan, kami tidak langsung tidur meskipun wajah dah mengenaskan karena kelelahan. Agenda selanjutnya justru ngemil. Ada kentang kecil-kecil serta cemilan apalah itu namanya yang jika dimakan di dalam kulkas akan semakin renyah dan lezat. Memang sih tidak ada dari kami yang pernah nyoba masuk kulkas lantas makan snack, tapi seperti yang kalian ketahui, suhu di gunung malam hari itu cukup mantep dinginnya. Untung saja untuk tidur malam, kami lebih siap dibanding pendakian-pendakian sebelumnya. Kali ini tiap orang pakai sleeping bag sendiri-sendiri. Di Lawu, kami tidur tanpa tenda, tanpa sleeping bag. Sedangkan di merbabu rombongan hanya bawa 2 sleeping bag jadinya hanya dimanfaatkan sebagai selimut. Untuk tidur malam tersebut, jelas lebih nyenyak dibanding pendakian-pendakian sebelumnya.



Pos 3. Sebelum didiriin tenda
 

Ngemil-ngemil sebelum bobok, saya dah membungkus diri dengan sleeping bag 

Paginya, setelah shubuhan dan puas foto-foto di pos 3, jam 7 mungkin, kami berangkat. Jujur, di malam harinya saya sangat pesimis apakah entar bisa sampai ke puncak. Sekarang sudah bisa sampai pos 3 saja sudah Alhamdulillah. Sudah cukup memuaskan. Akan tetapi Uud bilang, kita harus sampai ke puncak. Daripada suatu hari kami harus mengulang perjalanan ini lagi karena penasaran belum sampai di puncak, lebih baik diselesaikan sekarang juga. Insting saya sebagai pendaki pemula membenarkan hal tersebut. Pendaki yang senantiasa mencari tempat yang baru, sehingga diusahakan menghindari pengulangan. Entah apakah pendaki pemula lainnya juga berpikir demikian.




Pos 3 di pagi hari 




(Saya, Mas Yusuf, Mas Luluk, Uud, Mas Fajar) 

Kami naik dengan membawa 2 carrier yang dibawa bergantian, alat masak, perbekalan seperlunya, dan tidak lupa pula camera beserta kakinya. Perjalanan menuju pos 4 cukup curam dan naik secara istiqomah. Sepanjang jalur perjalanan banyak  ditumbuhi rumput-rumputan dan lamtoro. Akhirnya setelah 2 jam’an  perjalanan, kami sampai di pos 4. Memang agak lama. Kebanyakan foto-foto sih. Jika di Sumbing ada watu kotak, Merbabu ada batu tulis, Sindoro punya batu tatah.



Eh maap kalo nutupi pemandangan
 
Kayak gini nih yang bikin lama. Istirahat, ngemil, dan foto-foto (Sumbing nya keren yah)

Pos 4. Katanya sih Batu tatah tapi tulisannya 'gerbong' 

Setelah puas berfoto-foto dan istirahat di pos 4 (padahal sepanjang perjalanan juga istirahat melulu), kami langsung lanjut ke puncak. Air minum mulai tinggal sedikit. Mengulang kesalahan yang sudah-sudah, kami bawa air minum tidak terlalu banyak. Sebagian ditinggal di tenda. Saat naik gunung, katanya sih sifat asli kita keluar. Dalam hal air minum ini, saya galaknya bukan main. Ya mau bagaimana lagi. Saat dari pos 3 tadi,  kami ke puncak kalo tidak salah hanya bawa 2 botol besar 1 botol kecil. Itu pun ntar di puncak kami pengen masak-masak. Jadi tiap ada yang mau minum, saya suruh irit-irit.

Perjalanan ke puncak cukup lama juga. Sering terasa ilusi seperti di merbabu: puncak sudah dekat, eh ternyata nongol lagi puncak yang lebih jauh. Jalurnya didominasi lahan terbuka. Kumpulan tanaman edelweiss tampak di kejauhan. Ada juga sih yang tepat di samping jalur meski tidak terlalu banyak. Kurang lebih 1,5 jam dari pos 4 kami sampai puncak. YEEEAAAAH. Seneng tenan. 

Puncak nya luas. Mantep banget. Sayang sampe sekarang saya gak tau nama khususnya.



Kalau edelweiss nya mekar, mungkin sudah saya ambili (jangan ditiru)
 
Jalur ke puncak
 
Di Perjalanan. Sumbing dah kayak pulau 
Sampai puncak, berfoto bareng rombongan lain
 
Kawah Jalatunda, keren. 2 pendakian sebelumnya saya gak ketemu kawah
Malpraktek di Puncak. Masak mie dan susu jahe+pegagan
 

Ide ngawur. Ganti baju di puncak, sempet dikira rombongan guru ngaji 

Ok. Sebuah post yang benar-benar panjang. Dipenuhi tulisan-tulisan acak dan spamming gambar. Saya yakin gak ada yang baca secara komplet. Setidaknya saya cukup menikmati proses menulisnya sebagaimana menikmati perjalanan di Sindoro. 

Oh iya. Nama Jalatunda saya baru tau setelah googling beberapa bulan kemudian.

Lanjut ke part 3 (baca)

2 comments:

  1. Haha .. . sipp mas !! Santai, tak woco komplit kok, serius.
    Pas moco 'Akan tetapi Uud bilang, kita harus sampai ke puncak' sangar tenan, cool abiss.
    Dadi pengen muncak neh.

    ReplyDelete